Peran Guru Penggerak dalam Menciptakan Budaya Positif di Sekolah


Oleh: Sartana, S.Pd.T
Guru SMP Negeri 4 Kepil
Calon Guru Penggerak Angkatan 6 Kabupaten Wonosobo.

Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara merupakan tuntunan terhadap segala kodrat pada anak agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya baik sebagai manusia, maupun anggota masyarakat. Pendidikan haruslah memperhatikan minat, bakat, kebutuhan belajar, kodrat alam dan kodrat zaman yang ada pada murid. Pendidikan merupakan tempat persemaian benih-benih kebudayaan, artinya pendidikan harus mengutamakan budi pekerti. Dengan demikian pendidikan menjadi ruang bagi murid untuk bertumbuh secara utuh agar mampu memuliakan dirinya dan orang lain (merdeka batin) dan menjadi mandiri (merdeka lahir). 

Semangat menuju kebebasan belajar, berpikir, untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan berdasarkan kesusilaan ini,  menjadi tema besar kebijakan pendidikan Indonesia saat ini yaitu Merdeka Belajar untuk mewujudkan Profil Pelajar Pancasila. Pelajar Pancasila disini berarti pelajar sepanjang hayat yang kompeten dan memiliki karakter sesuai nilai-nilai Pancasila yaitu 1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia; 2) Mandiri; 3) Bergotong-royong; 3) Berkebinekaan global; 4) Bernalar kritis; dan 6) Kreatif.

Agar Profil Pelajar Pancasila tersebut dapat terwujud, dibutuhkan peran guru sebagai motor perubahan pendidikan. Guru penggerak melalui nilai-nilai yang diyakininya seperti mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, serta berpihak pada murid, memiliki peran sebagai pemimpin pembelajaran, menggerakkan komunitas praktisi, menjadi coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi antar guru, dan mewujudkan kepemimpinan murid. Dengan nilai dan peran guru penggerak ini diharapkan transformasi pendidikan di Indonesia dapat lebih cepat terwujud.

Sebagai agen perubahan, guru penggerak harus dapat mengambil inisiatif perubahan nyata pada murid. Perubahan tersebut harus juga selaras dengan tujuan pendidikan nasional saat ini yaitu mewujudkan siswa yang berprofil pancasila melalui proses pembelajaran yang merdeka (merdeka belajar) sesuai dengan filosofi pendidikan KHD. Dalam mewujudkan hal tersebut, seorang guru penggerak diharapkan mampu merumuskan visi murid di masa depan, kemudian menjadikannya sebagai visi guru penggerak yang selanjutkan akan dijabarkan dalam kegiatan aksi nyata.

Untuk menjabarkan visi kedalam aksi nyata, guru penggerak dapat menggunakan  salah satu pendekatan yang dikenal dengan inkuiri apresiatif. Inkuiri apresiatif adalah suatu pendekatan manajemen perubahan kolaboratif dan berbasis kekuatan, artinya perubahan yang diinginkan oleh suatu organisasi seperti sekolah atau perusahaan yang dilakukan secara bersama-sama secara kolektif oleh elemen-elemen yang ada di dalamnya dan berbasis pada kekuatan yang telah dimiliki oleh organisasi atau perusahaan tersebut. Inkuiri apresiatif berusaha fokus pada kekuatan yang dimiliki setiap anggota dan menyatukannya untuk menghasilkan kekuatan. Pendekatan inkuiri apresiatif dimulai dengan mengidentifikasi hal baik apa yang ada, mencari cara agar hal tersebut dipertahankan, lalu memunculkan strategi untuk mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik. Tahapan utama dalam pendekatan inkuiri apresiatif dikenal dengan akronim BAGJA yaitu Buat Pertanyaan, Ambil Pelajaran, Gali Mimpi, Jabarkan Rencana, dan Atur Eksekusi.

Selain dengan pendekatan inkuiri apresiatif, untuk mewujudkan visi dan profil pelajar pancasila, sekolah harus dapat menciptakan suasana yang kondusif atau lingkungan positif, yang mendukung murid menjadi pribadi yang bahagia, mandiri, dan bertanggung jawab sesuai filosofi Ki Hadjar Dewantara. Di sinilah peran guru penggerak sebagai pemimpin pembelajaran, pendorong kolaborasi dan mewujudkan kepemimpinan pada murid sangat dibutuhkan. Guru penggerak diharapkan mampu menggerakkan, memotivasi warga sekolah agar memiliki, meyakini dan menerapkan nilai-nilai kebajikan yang disepakati, sehingga tercipta budaya positif dan berpihak pada murid.

Untuk membangun budaya positif tersebut, diperlukan berbagai strategi, diantaranya penerapan disiplin positif. Disiplin positif bertujuan menanamkan motivasi pada murid-murid untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang berasal dari motivasi internal. Seseorang yang memiliki disiplin diri, bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal.

Nilai-nilai kebajikan adalah sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap individu. Seperti yang telah dikemukakan oleh Dr. William Glasser pada Teori Kontrol (1984), yang menyatakan bahwa setiap perbuatan memiliki suatu tujuan, dan selanjutnya Diane Gossen (1998) mengemukakan bahwa dengan mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun, sehingga menggerakkan motivasi dari dalam, untuk dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan. 

Di sinilah peran guru penggerak dalam penerapan disiplin positif di sekolah dimulai. Guru penggerak berperan menggerakkan semua warga sekolah dalam mengidentifikasi, menginternalisasi dan menerapkan nilai-nilai kebajikan universal berbentuk keyakinan kelas atau sekolah menjadi dasar tindakan atau perilaku. Keyakinan atau nilai-nilai ini secara praktis bisa dirumuskan melalui kesepakatan kelas atau sekolah yang selanjutnya diperas menjadi bentuk keyakinan kelas atau sekolah. 

Diane Gossen juga menyatakan bahwa perilaku manusia didasari 3 (tiga) motivasi yaitu untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman, mendapatkan imbalan atau penghargaan orang lain dan menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Di sinilah peran kedua dari guru penggerak untuk dapat mengubah paradigma penerapan disiplin dari berupa hukuman/sanksi, pemberian hadiah/penghargaan, menuju kepada penghargaan diri sendiri dengan nilai-nilai atau keyakinan kelas/sekolah. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajak murid melakukan restitusi.

Guru penggerak dalam pendekatan restitusi akan mengajak murid untuk berefleksi tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka sehingga mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan menghargai dirinya. Pendekatan restitusi tidak hanya menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah, sehingga sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi menang-menang. Ketika murid melakukan kesalahan, justru ada peluang luar biasa untuk bertumbuh karakternya. Murid perlu bertanggung jawab atas perilaku yang mereka pilih, namun mereka juga dapat belajar dari pengalaman untuk membuat pilihan yang lebih baik di waktu yang akan datang. 

Agar dapat mengajak murid melakukan restitusi, perlu transformasi guru penggerak dalam penegakan disiplin dalam posisi kontrolnya. Dari yang menjadi penghukum, pembuat rasa bersalah, sebagai teman dan pemantau menuju posisi kontrol manajer. Pada posisi manajer ini guru penggerak berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain, dimana penekanannya bukan pada kemampuan guru membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada.

Dalam melakukan restitusi, guru penggerak dapat menerapkan tahapan-tahapan yang dikenal dengan segitiga restitusi, mengacu pada Diane Gossen dalam bukunya Restitution; Restructuring School Discipline, (2001). Tahapan tersebut antara lain: 

1. Menstabilkan identitas

Tahap ini bertujuan mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses, karena sebenarnya anak yang melanggar peraturan sedang mencoba memenuhi kebutuhan dasarnya, namun menghadapi benturan. Sehingga kita tidak seharusnya mengkritiknya, karena akan tetap membuatnya dalam posisi gagal. Sebaliknya seorang guru penggerak yang reflektif akan mampu meyakinkan murid, untuk tidak terlalu fokus pada kesalahannya, karena bagaimanapun kesalahan itu telah terjadi, lagi pula semua manusia bisa berbuat kesalahan. 

2. Validasi tindakan yang salah

Tahap berikutnya adalah mengenali dasar dari perbuatan salah yang telah dilakukan. Karena setiap tindakan manusia pasti didasari oleh 5 (lima) kebutuhan dasar manusia, yaitu: kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). Maka ketika seorang murid melakukan sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka karena bertabrakan dengan kebutuhan orang lain. Karena itu guru penggerak perlu memahami alasan murid dalam tindakannya, mau mendengarkan dan selanjutnya mengarahkan agar murid dapat menemukan cara yang lebih efektif dan tidak berbenturan dengan kebutuhan orang lain.

3. Menanyakan keyakinan

Jika murid dapat diarahkan melalui tahap 1 dan 2, maka murid tersebut dapat diajak untuk menghubungkan dengan keyakinan atau nilai yang dipercaya sebagai dasar atau motivasi intrinsik dari setiap tindakan. Dengan demikian anak akan mendapat gambaran yang jelas tentang seperti apa gambaran ideal sosok dirinya yang dinginkannya. 

Langkah-langkah ini tidak harus dilakukan oleh guru penggerak satu persatu secara kaku, tergantung dengan sikap dan tanggapan murid setelah berbuat kesalahan. Bagi murid yang sudah sadar suatu tahapan, guru penggerak tidak bisa menuju tahapan selanjutnya. Demikian juga bentuknya bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. 

Setelah melakukan tahapan segitiga restitusi ini, murid bisa diajak berdiskusi menentukan apa yang akan dilakukan selanjutnya dalam memperbaiki akibat tindakannya dan bagaimana tindakannya tersebut dapat menjadi pelajaran berharga baginya dan orang-orang di sekitarnya. Bagi murid yang masih kesulitan diajak restitusi, guru penggerak dapat turun ke posisi kontrol sebagai pemantau, untuk mengingatkan anak bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi dan resiko.

Berikut contoh praktik segitiga restitusi untuk kasus murid terlambat masuk sekolah.


Demikian peranan guru penggerak dalam mewujudkan budaya positif di sekolah. Semoga kita dapat melakukan perubahan-perubahan yang diharapkan dalam pendidikan ini dalam bentuk kegiatan atau aksi nyata sehari-hari di sekolah. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wasana Warsa Pelepasan Siswa Kelas IX Tahun Ajaran 2018/2019

SAMPAH - DARI MASALAH JADI BERKAH (PROJEK PENGUATAN PROFIL PELAJAR PANCASILA)