PEMBELAJARAN KARAWITAN DI SEKOLAH DALAM RANGKA PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA
PEMBELAJARAN KARAWITAN DI SEKOLAH
DALAM RANGKA PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA
A. Latar Belakang Masalah.
Di samping kurangnya kesadaran
dari kita, kita juga kurang peduli dengan kebudayaan yang kita punya. Padahal
kalau kita kembangkan serta kita mau melestarikannya
,
kita akan menjadi bangsa yang penuh warna. Kita sudah memiliki ragam
budaya,bahasa,dll. Tetapi mengapa kita tidak sadar akan itu semua.
Mari kita
bangun Bangsa kita tercinta demi kemajuan yang lebih baik, sebelum terlambat
atau saksikan kebudayaan kita punah tanpa bekas dan hanya jadi cerita legenda
belaka yang nantinya juga akan terhapus dari memori anak cucu kita nanti atas
nama modernitas dan kemajuan zaman.
Kami
segenap keluarga besar SMP Negeri 4 Kepil, ingin mewujudkan cita – cita luhur
yaitu membentuk karakter peserta didik melalui pendidikan seni Karawitan.
B. Karakteristik Pembelajaran Karawitan
Pemahaman terhadap karakteristik pembelajaran
karawitan diperlukan untuk mengetahui
dan mengkaji sifat-sifat dan keberadaan pembelajaran karawitan. Perlunya
pemahaman ini didasari oleh perbedaan materi pembelajaran sehingga para
pembelajar cepat mengerti dan mudah menentukan cara serta langkah dalam
pembelajaran.
1. Budaya
Lokal
Karawitan sebagai budaya tradisi tidak dapat terlepas dengan tata nilai
yang berlaku di daerah tempat karawitan itu hidup dan berkembang. Biasanya
kebiasaan-kebiasaan, norma dan tata nilai selalu menyertai selama budaya itu
diakui oleh masyarakat pendukungnya. Misalnya gamelan Sekaten yang berada di
Keraton Surakarta dan Yogyakarta hanya dibunyikan pada bulan Robiulawal atau
Maulud sebagai pertanda peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selain bulan
itu gamelan Sekaten tidak dibunyikan kecuali gamelan-gamelan duplikat di luar
keraton misalnya di sekolah-sekolah.
Kebiasaan seperti itu sangat kental dalam kehidupan
seni budaya tradisi. Karawitan sebagai materi pembelajaran di sekolah masih
dipengaruhi oleh kaidah-kaidah tradisi sebagai ciri-ciri dari seni budaya lokal
atau daerah. Seni tradisi secara umum dapat dinyatakan sebagai bentuk budaya
lokal adalah yang merupakan seni kelompok etnik yang memiliki kemapanan sistem
nilai, patokan, aturan, idiom tertentu yang harus dipatuhi (Subroto, 1991:5).
Nilai-nilai yang ada dalam pembelajaran karawitan memiliki wilayah teba sangat
luas dan dalam misalnya tentang estetika, etika, kehalusan budi, kesabaran,
kebersamaan dan sebagainya. Patokan, aturan maupun idion dalam karawitan dapat
dilihat bahwa pada karawitan terdapat kaidah pokok seperti laras,
pathet, teknik dan irama. Kemapanan sistem nilai dan kaidah yang dimiliki
karawitan sebagai bentuk perbedaan dengan budaya yang lain maka karawitan
merupakan seni budaya lokal yang memiliki ciri-ciri khusus.
Karawitan merupakan salah satu jenis musik tradisional
etnis Jawa. Suatu ketika karawitan menjadi materi pembelajaran di
sekolah-sekolah, jenis musik ini dimasukkan dalam mata pelajaran seni budaya.
Dengan kata lain bahwa karawitan dikategorikan sebagai bagian dari seni musik
dan seni musik sendiri bagian dari kesenian atau seni budaya. Apa yang terjadi
dalam sistem pendidikan kita, karawitan akan mendapat kesempatan diajarkan di
sekolah dengan durasi waktu yang sangat sedikit dan itupun kalau ada kebijakan.
Kondisi demikian sudah terjadi sejak lama dan berlangsung di berbagai sekolah
umum.
2. Multidimensi dan Multidisiplin
Multidimensi dalam pendidikan seni memiliki hubungan
yang erat dengan berbagai potensi yang ada dalam diri manusia secara utuh.
Lowenteld dan Brittain (dalam Wardani, 2006:20) menyatakan bahwa “pendidikan
seni tidak hanya mengembangkan potensi estetik kreatif tetapi juga
mengembangkan potensi fisik, perceptual, intelektual, emosional, kreatifitas
dan sosial. Pada bagian yang lain Wardani (2006:23) menyatakan bila berbagai
potensi dapat dikembangkan secara utuh maka akan dapat pula digunakan sebagi
bahan untuk memiliki multi kecerdasan yang dimiliki oleh manusia dalam
memperoleh kebermaknaan hidup. Multidimensi dalam pendidikan kesenian lebih
lanjut dikatakan ada beberapa hal, yaitu: kecerdasan kinestetik, kepekaan
indrawi, kemampuan berfikir, kepekaan rasa, seni dan kreatifitas, kemampuan
sosial dan kemampuan estetik. Ketujuh jenis kecerdasan yang dibangun dalam
pendidikan seni ada dalam tubuh dan ruh karawitan.
Berdasarkan ciri-ciri khusus yang terdapat dalam
karawitan multidimensi dalam pendidikan akan diperoleh. Dengan belajar
karawitan kita akan terdidik untuk mengenal sifat-sifat kasar dan halusnya
sebuah objek yang kita hadapi. Kepekaan inderawi akan tumbuh dan berkembang
karena dibiasakan untuk cepat tanggap terhadap sesuatu yang ditangkap melalui
indera pendengaran khususnya. Kemampuan berfikir juga akan terpupuk karena
dalam karawitan terdapat pembiasaan untuk merencanakan, membuat, mengolah dan
menyajikan. Kepekaan rasa, seni, dan kreatifitas merupakan unsur yang selalu
berdekatan untuk mengembangkan ide dan gagasan berdasarkan perasaan dan tidak
ada keterpaksaan. Kemampuan sosial juga terdapat pada pembelajaran karawitan
yang merupakan sebuah bentuk sikap kebersamaan. Sedangkan kemampuan estetis
merupakan fokus dari keseluruhan fungsi kita belajar kesenian.
Budhisantoso (1991:4) mengatakan bahwa ada dua aspek
kesenian yang perlu diperhatikan yaitu kontek estetika dan kontek makna. Kontek
estetika yang meliputi penyajian yang mencakup bentuk dan keahlian yang
melahirkan gaya dan kontek makna pesan dan lambang-lambang. Dua kontek tersebut
sejajar dengan pendapat Pieter B. Mboeik (1986:1) yang menyatakan: “…seni
merupakan kemahiran membuat dan melakukan tetapi hasil dari kegiatan itu
sebagai perangsang timbulnya pengalaman estetis di samping tujuan yang lain
seperti mendidik, beribadah dan sebagainya”.
C. Pembelajaran Karawitan Dalam Rangka
Pendidikan Karakter Bangsa
1. Pengertian Pendidikan Karakter
Pembelajaran
karawitan merupakan salah satu bentuk aktivitas pendidikan seni yang memiliki
tujuan lebih dari sekedar pengetahuan yang bersifat lahiriah saja. Pendidikan
seni memiliki peranan dalam pembentukan pribadi siswa yang harmonis dengan
memperhatikan kebutuhan dan perkembangan anak didik untuk mencapai kecerdasan,
kreatifitas, emosional, intelektual dan spiritual. Pendapat ini selaras dengan
pernyataan Maslow (dalam Semiawan, 2006:13) “education through
art”, menumbuhkan kreatifitas, kepekaan sosial terhadap lingkungan,
mencerdaskan segi kognitif dalam perkembangan manusia dalam harmoni dengan
dimensi pembentukan karakter manusia.
2. Materi dan
Jenis Karakter Bangsa Yang Terbentuk
a. Aspek
Pengetahuan (Cognitive)
Beberapa komponen yang terdapat dalam pengetahuan karawitan tentang sastra,
sejarah, teori-teori, bentuk, unsur dan pengetahuan praktek. Pada
komponen-komponen itu tersirat berbagai kaidah dan nilai-nilai luhur tentang
baik buruk mulai dari hubungannya degan Tuhan, diri sendiri, sesama,
lingkungan, bangsa dan negara.
Berbicara tentang komponen pengetahuan yang terdapat pada karawitan; pengetahuan sastra merupakan
bagian yang paling dominan dibanding dengan komponen-komponen yang lain.
Pengetahuan sastra yang tertuang dalam tembang atau lagu memiliki isi, makna
dan bentuk yang beragam. Sebagai contoh dalam karawitan terdapat tiga jenis
tembang yaitu tembang macapat, tembang tengahan dan tembang gedhe.
Ketiga jenis tembang tersebut memiliki ciri-ciri dan tata cara penyajiannya
yang berbeda-beda.
Anjar Ani (1983:3) menyatakan bahwa sastra yang
terkandung dalam Wedatama karangan Ranggawarsita berupa syair-syair tembang
macapat penuh dengan ajaran lahir dan batin. Syair-syair itulah disebut wujud
ilmu pengetahuan (WEDA) dan TAMA sebagai ajaran yang baik dan utama.
Salah satu contoh dalam pembukaan Wedatama ditemukan tembang Pangkur dengan
syair.
Mingkar mingkuring angkara
akarana karenan mardi siwi
sinawung resmining kidung
sinuba sinukarta
mrih kretarta pakartining ngelmu luhung
kang tumprap neng tanah jawa
agama ageming aji
Terjemahan :
Menjauhkan diri dari nafsu angkara
karena berkenan mendidik putra
dalam bentuk syair dan lagu
dihiasi penuh variasi
biar menjiwai ilmu luhur yang dituju
di tanah jawa (indonesia) ini yang hakiki
adalah agama sebagai pegangan yang baik
(Andjar Any, 1983:31)
Tembang
Dhandhanggula
Yogyanira kang para prajurit
lamun bisa sami anulada
duking nguni caritane
andelira sang prabu
Sasrabau ing Maespati
aran patih Suwondo lelabuhanipun
kang ginelung tri prakara
guna kaya purune kang den antepi
nuhoni trah utama
Isi dari cerita tembang di atas adalah tentang
prajurit yang sebaiknya bisa meniru dan meneladani yang dilakukan oleh patih
Suwondo di kerajaan Maespati. Pada saat itu patih Suwondo berani mati untuk
tiga alasan yaitu karena sebagai ksatria, merasa bisa makan dan minum serta
dilahirkan di negara Maespati.
Pengetahuan sastra dalam tembang tidak hanya dapat
dijaki dari isi dan maknanya tetapi juga terdapat pengetahuan-pengetahuan yang
lain seperti sejarah, wangsalan, parikan, purwakanthi, gatra, wanda,
guru lagu, pedhotan, lampah, dan sebagainya. Dengan demikian sangatlah
padat dan berisi di dalam satra tembang sehingga menunjukkan adanya kekayaan
makna dan simbol dalam budaya kita. Pemahaman terhadap sejarah,
laras, pathet, teknik tabuhan, pola tabuhan, bentuk gending dan garap diperlukan
sebagai pengetahuan dasar karawitan. Penguasaan pengetahuan karawitan merupakan
pertanda bahwa dalam pembelajaran karawitan tidak hanya mempelajari tentang
tabuh menabuh gamelan. Lebih dari itu kekayaan pengetahuan karawitan akan
berpengaruh pada kemampuan keilmuan seseorang sehingga dapat menumbuhkan
rasa andarbeni terhadap karawitan sebagai budaya lokal
sekaligus budaya bangsa Indonesia.
Apa jenis karakter bangsa yang dapat terbentuk melalui
pembelajaran karawitan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
banyak hal yang terbentuk melalui karawitan, antara lain :
1. Terbentuknya manusia yang memiliki
watak dan wawasan kepribadian yang luhur yaitu tentang etika, moral dan
nilai-nilai filosofi budaya bangsa.
2. Terbentuknya rasa cinta terhadap budaya
sendiri.
b. Aspek Perasaan (Feeling)
Perasaan dalam konteks pendidikan karawitan dapat
dipandang dari dua sudut, yaitu perasaan yang berhubungan dengan etika dan
estetika. Antara etika dan estetika dalam pendidikan karawitan tidak bisa
dipisakan. Apabila pembelajaran karawitan hanya dipenuhi oleh aspek estetika
maka hanya akan muncul tukang-tukang seni. Akibatnya seni budaya digunakan
sebagai pemenuhan kepuasan hiburan. Sebaliknya apabila pembelajaran seni hanya
didominasi oleh aspek etika maka yang akan muncul adalah berkurangnya kesadaran
untuk menerimanya karena faktor estetikanya tidak terpenuhi.
Perasaan dalam konteks etika pada pembelajaran
karawitan dapat dilihat pada kaidah-kaidah, norma-norma dan nilai-nilai tentang
baik buruk. Pemahaman dan implementasinya tidak dapat disamakan dengan
pemahaman dalam bentuk pengetahuan tetapi harus menggunakan perasaan hati atau
nurani. Dalam kontek estetika sangat jelas untuk dimengerti karena pendidikan
karakter terkait pembelajaran karawitan tidak dapat meninggalkan peranan
emosional.
“Pendidikan seni memiliki peranan dalam pembentukan
pribadi siswa yang harmonis dengan memperhatikan kebutuhan dan perkembangan
anak didik untuk mencapai kecerdasan emosional….” (Suanda, 2006:33). Peranan
pendidikan seni dalam pembentukan pribadi dapat dianalogikan sebagai
pembentukan karakter maka memiliki hubungan yang erat dengan emosional peserta
didik. Dari pengertian inilah pendidikan karakter sangat membutuhkan peranan
emosional (perasaan) yang salah satunya dapat diperoleh melalui pembelajaran
seni, termasuk di dalamnya karawitan. Wardani (2006:17) mengatakan bahwa “dalam
proses pembelajaran di ranah inderawi dan rasa atau feeling atau esmosi selalu
dilatih secara optimal….” Cut Karnaril Wardani selanjutnya menambahkan bahwa
peran utuh dari pendidikan seni berguna bagi pembentukan karakter indiviu dan
bangsa.
Seringkali para pelaku dan pembuat seni tidak pernah
menggantungkan antara etika dan estetika, tetapi sering terjadi permasalahan di
masyarakat setelah produk disajikan. Kadang-kadang karya seni menjadi suatu hal
yang bertentangan dengan norma dan kebiasaan masyarakat setempat sehingga dapat
menjadi bahan pergunjingan. Dalam makalah ini sengaja disatukan antara etika
dan estetika dalam karawitan karena didasarkan pada pendidikan karakter.
Estetika yang diajarkan harus didasari kaidah-kaidah etika karena
bertujuan untuk membentuk manusia yang memiliki kualitas hidup.
Dalam kontek estetika sangatlah jelas bahwa
pembelajaran karawitan mengenal laras, pathet, wirama dan wirasa. Semua
itu tertuju pada menggunakan perasaan dalam kontek estetika. Apa yang dibangun
melalui pembelajaran karawitan dalam kontek etika. Secara ilmu pengetahuan
telah dipaparkan pada bagian di atas tetapi pada bagian ini dapat dilihat pada
nilai-nilai kepantasan pada saat penyajian karawitan berlangsung. Dalam budaya
Jawa secara umum terdapat kaidah tentang subasita (perilaku)
dan tata karma (tata bahasa yang baik). Keduanya akan
berpengaruh terhadap etika para pelaku seni karawitan karena selalu ada dalam
pendidikan karawitan. Bentuk karakter yang dapat diperoleh melalui aspek
perasaan antara lain: kehalusan budi, kepekaan perasaan yang dapat
menumbuhkan cinta sesama, kehati-hatian, disiplin dan kesabaran. Bahkan ada
informasi yang menyatakah bahwa pada saat menyajikan geding seorang pengrawit bagaikan
orang yang semedi (Sudarso, wawancara, 26 Maret 2011). Hal itu
menunjukkan bahwa peranan pemusatan perasaan sangat dibutuhkan pada waktu
menyajikan gending.
c. Aspek Tindakan (Action)
Tindakan yang muncul dalm suatu kegiatan
belajar mengajar karawitan dapat juga diartikan sebagai bentuk sikap.
Kaidah-kaidahpun akhirnya tidak hanya mengarah pada tindakan penyajian karya
seni tetapi juga mengarah pada sikap atau perilaku. Faktor psikomotor yang
selalu melekat pada proses pembelajaran karawitan juga selalu bersama-sama
berjalan dengan ketentuan-ketentuan yang menjadi kaidah dalam karawitan.
Kaidah-kaidah ini tidak tertulis dan dapat dipahami secara filosofi pada setiap
tindakan dilakukan. Dengan demikian peragaan dalam penyajian karawitan tidak
semata memburu dan mencari kepuasan dalam bentuk estetis tetapi perlu dibarengi
dengan tindakan yang berupa etika. Pendekatan dalam bentuk tindakan ini erat
hubunganya dengan aspek rasa, oleh sebab itu dalam pembelajaran karawitan
antara rasa dan tindakan tidak dapat dipisahkan, karena keduanya merupakan
pembentuk sebuah sajian karawitan secara utuh. Estetika dan etika merupakan
unsur pokok dalam karawitan. Estetika tanpa etika kadang-kadang memandang seni
budaya sebagai hiburan. Pada hal menurut Hastanto (1991:4) seni merupakan
pengasahan ketajaman rasa dan fungsinya sebagai hiburan hanya sebagian kecil
saja. Menurut Sedyawati (2006:51) bahwa pendidikan kesenian di sekolah-sekolah
bertujuan untuk mengembangkan kapasitas penghayatan seni yang merupakan sarana
pendidikan dalam pembangunan manusia seutuhnya untuk menambahkan kemahiran
teknik dalam memproduksi ungkapan estetis.
Sebagaimana disebutkan di depan bahwa dalam karawitan
terdapat kaidah-kaidah tertentu yang perlu dipatuhi meskipun bukan
merupakan pengetahuan maupun teori dasar tentang karawitan. Sebagai
contoh cara duduk, berpakaian, berbicara, berjalan, berdiri, memandang,
bergerak dsb. Sikap itu memang tidak tertulis dan jarang masuk dalam materi
pembelajaran tetapi apabila tidak benar dalam bersikap maka akan merusak tata
nilai di dalam penampilan.
Komentar
Posting Komentar